04 October, 2017

Drama Keluarga Online


Kecanggihan media komunikasi sekarang udah mampu mendekatkan jarak dan meniadakan batasan citra dan suara, salah satunya dengan lahirnya aplikasi Whatsapp, sodara-sodara gue udah pada punya smartphone, bahkan nyokap gue udah bisa mengoperasikan ponsel pintar sendiri secara pelan tapi pasti. Dan akhirnya, keluarga besar nenek gue pun punya Whatsapp Group Chat sendiri. Asoy! Dan yang namanya sekumpulan orang-orang mah ya, yang saling bicara menggunakan ketukan kiped enpon, pasti muncul konflik atau salah paham alias salah persepsi, dan salah satu nya masih anget baru diangkat dari kompor kejadian kemaren.

Alkisah beberapa orang keluarga gue minggu ini lagi ada di Semarang, di acara nikahannya sepupu sekaligus frenemy gue si Udin, yang kecantol cewek Semarang trus nikah dan resepsiannya hari Senin yang mana gue pasti engga bisa dateng, kan, Din. Selesai resepsi dan jalan-jalan naik delman ku duduk di muka berkeliling kota Semarang, tadi malem (Selasa) rombongan kembali bertolak menuju Jakarta, sebagian menggunakan kereta api, beberapa menggunakan pesawat. Semua kegiatan mereka terinci dengan detail disertai dokumentasi diunggah di grup chat, jadi orang kayak gue yang kaga bisa ikutan cuma bisa scroll-scroll aja sambil mesem-mesem.

Semalem, sejak matahari tenggelam, si kakak gue yang paling gede udah eksis banget di grup chat ngabsenin orang satu-satu, nanya udah berangkat belum, udah sampe mana, pipisnya lancar, suaranya mana, hingga semua yang otw melaporkan status sudah landing bandara Jakarta atau Stasiun Gambir  dan Senen. Entah bagaimana deal-dealan mereka sebelumnya, jam sembilan tiga puluh malem si kakak gue nomor dua ngasi tau kalo rombongan udah sampe di rumah dia di Jakarta Barat.

Here's the doomed thing.
Si kakak gue nomer satu sewot, dong. Dia lebih kurang ngomong kayak gini: "kalo emang mau ke rumah di Jakarta Barat kok ga ngasi tau dari awal, jadi gua kan ga perlu nunggu lama dari tadi (et dah), kalo gini mah kayak becandain gua aja kan namanya. Ga usah aja dah ke rumah gua kalo gitu." Sepertinya ada kesepakatan yang dilanggar, LOL. Mungkin nih, mereka sepakat mao ke rumah si kakak paling tuak di Ciputat itu begitu sampai Jakarta, atau sekalian untuk stay disana atau sejenisnya. Lantas gue, kayak kerasukan apa, malah reply chat dia dan bilang "Lah besok kan masih ada waktu. Pada kecapekan kan pulang jalan jauh. Istirahat aja dulu, besok maen-maen lagi". Gue emang ga biasa-biasanya ngomen di grup chat. Males aja. Udah hobi silent reader, kecuali kalo memang urgent sih. Tau-tau si kakak gue tercinta ini balas sewotin gue, bilang "Ga usah hibur gue, deh."
DANG, SIST!

I literally laughed hard at dat moment. Banyak draft balasan chat yang bersliweran di kepala gue kala itu, tapi gue cuma bilang "ya udah sih, aku tidur duluan ya dadahh." Yang sebenernya gue masih melek abis, karena penasaran kelanjutan drama keluarga ini gimana. Dan yep, yang lain pada gantian komen baek-baekin si kakak gue ini bilang faktor macet lah, hujan, mau ambil barang dulu ke Jakbar sana, dan mereka akhirnya bener-bener ke rumah si kakak gue ini bela-belain tadi malam karena sepupu gue yang laen ngelapor status "otw Ciputat" pada jam sepuluh tiga puluh. HOLY SMOKE!

Abis itu gue kayak speechless gitu. Dan kejadian ini bikin gue kayak throwback ke diri gue beberapa tahun yang lalu, dengan segala keegoisan yang gue punya hingga kadang mengorbankan keluarga dan temen-temen terdekat. Lalu egocentrics itu mengklimaks, meluap-meluap hingga tumpah ruah dan selanjutnya gue merasa kosong. Antiklimaksnya, ya gue yang sekarang. Less selfish indeed, that I can brag about. Saat keegoisan gue masih eksis, dan itu melibatkan keluarga gue, mereka tetap menuruti mau apa mau gue. Sedikit perdebatan sudah pasti, namun sudah jelas gue pemenangnya. Still, they loved me for who I was, and that feeling still going on strong until today. 

Dan gue bersyukur kemarin tidak berkomentar terlalu jauh terhadap sikap kekanak-kanakan kakak gue itu. Karena gue sebagai adiknya, juga pernah berlaku sama terhadap dia dan sodara-sodara gue yang lain. Dan menjadi dewasa bukan berarti kita harus selalu menerima keadaan, memaklumi akan hal, tanpa pernah menyampaikan ketidak sukaan, tanpa pernah menginginkan sesuatu secara eksplisit. 
❤❤❤

PS: 
I have no intention to expose the negative sides of my sibling(s) or family things.
I just wanted to share this story as one lesson to learn, also as reminder for my self.
Keep peace, love and gawl~

26 June, 2017

Eid Mubarak!

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H semuanya.
Postingan pertama di 2017 langsung dihajar dengan  joyful wish in these blessing days.
Mohon maaf lahir dan batin yah.
Maafkan karena ternyata gue kembali mengkhianati janji sendiri yang katanya mau sering-sering ngepost. Apaan, yang ada gue nyaris dibikin tengkurap dengan kerjaan yang udah 30 hari dalam sebulan khusus di bulan Ramadhan. Dari yang almost do nothing, to do almost everything. Beruntung sahur dopping kelapa muda menambah staminakuh. Gokil!
Cuti bersamanya panjang yah, enak bener buat yang employee kayak gue seminggu di rumah tapi juga ga punya rencana kemana-ngapain ujung-ujungnya pasti mageerr pffttt.
Anyhow, enjoy your holiday. Wish me luck for having a huge spirit to polish this blog again.
Si Andie aja yang hibernasi empat tahun bisa langsung combo attack, kenapa gue engga?
Hihihi~

Eid Mubarak to everyone!

26 November, 2016

Bisa Karena Biasa

Bosan setengah mampus.
Itu yang lagi gue rasain. Ga berasa udah mau empat bulan gue di kantor ini, di jabatan baru ini, di kerjaan baru. Inget gue pernah janji bakal sering cerita tentang my daily basis di blog? Meh, I failed. I mean, I really didn't know what to share here, guys. Karena ternyata di posisi sekarang gue lebih banyak santai nya dibanding kerja yang menguras pikiran ato tenaga. Dalam satu bulan masa kerjaan gue ini bisa dihitung berapa hari yang gue pakai buat kerja. Itupun karena ada email dari kantor Palembang ato ada permintaan ini itu yang urgent.

Iya sih, di bulan pertama gue digeber dengan ke lapangan untuk total operasi pasar yang segera dieksekusi dalam 2 minggu, disusul dengan 1 minggu persiapan berkas laporan, lalu santai lagi. Selanjutnya lagi disuruh untuk survey lapangan untuk persiapan produk terbaru bidang komersial yang pada akhirnya gue anggap sebagai proyek ga niat karena disuruh prepare tapi ga dikasih budget untuk apapun. I mean, c'mon, yang namanya kegiatan berbau komersial sudah pasti will need adequate cost untuk selanjutnya diolah untuk menghasilkan omset dan margin. Warung kecil aja perlu modal buat beli barang untuk dijual. Apalagi gue yang disuruh untuk merangkul masyarakat kecil tingkat RT-RW untuk menjalin kerjasama, lalu kita supply beberapa kebutuhan pangan pokok untuk selanjutnya mereka pasarkan dengan final goal-nya kita untuk kemudahan akses kebutuhan pangan dengan harga murah tercapai. Butuh modal gede; dalam bentuk rupiah, bukan omongan.

Masalah lain adalah, gimana mau menawarkan kerjasama, jika barang yang ditawarkan itu bahkan ga lengkap. Kasarnya nih, gue ajakin kerjasama jualan, tapi gue cuma punya satu jenis barang dagangan, elo harus mau jual dagangan gue dengan HET yang udah gue tentuin. Barang dagangan lainnya elo sediain sendiri. Itu satu. Yang kedua, gue mau ajak lu kerjasama buat tender pembelian beberapa macam barangnih, elu sebagai supplier gue, tapi gue bayarnya belakangan pas barangnya itu udah laku gue jual. Bahasa bisnisnya sih, konsinyasi. Gimana menurut ngana?

Dengan banyaknya konstrain disana-sini, segala preparation yang ga didukung sama kantor Palembang, tanpa SOP dan WI yang jelas, instruksi ga resmi lebih banyak daripada yang resmi, lalu komunikasi yang cuma dua arah, lama-lama cape juga, ya kan? Semangat gue yang awalnya udah kayak 200%, sekarang udah mulai tinggal remah-remah doang. Setiap ketemu kendala, gue konsul ke kantor Palembang, dan hanya satu dari sepuluh pertanyaan gue yang ada jawabannya. Selebihnya, mengecewakan. And they, oh well, they didn't even care with my progress. They didn't even bother to ask whether I happen to find a problem that need further assistance. They just left their soldier alone at war.

So?
Dengan semua permasalahan dari minor hingga major, membuat gue menjadi effortless, hampir menjadi malas dan persetan dengan target dan progress karena sama sekali ga ada perhatian dari bagian terkait di kantor pusat Palembang sana. Keengganan membuat gue menolak untuk berupaya lebih. Temen-temen pernah bilang kalo gue workaholic yang doyan lembur di akhir minggu demi kerjaan selesai. Sekarang? Look at me, pals. Sedikit stress dibumbui rasa hopeless membuat gue akhirnya menjadi seorang yang ga peduli. Dan semua jadi biasa karena ternyata gue juga bisa ngelakuin hal yang dulu sangat gue benci dari beberapa orang yang gue tuduh suka gabut tanpa alasan.

And believe me, you're about to lose your another potential soldier very soon.