26 November, 2016

Bisa Karena Biasa

Bosan setengah mampus.
Itu yang lagi gue rasain. Ga berasa udah mau empat bulan gue di kantor ini, di jabatan baru ini, di kerjaan baru. Inget gue pernah janji bakal sering cerita tentang my daily basis di blog? Meh, I failed. I mean, I really didn't know what to share here, guys. Karena ternyata di posisi sekarang gue lebih banyak santai nya dibanding kerja yang menguras pikiran ato tenaga. Dalam satu bulan masa kerjaan gue ini bisa dihitung berapa hari yang gue pakai buat kerja. Itupun karena ada email dari kantor Palembang ato ada permintaan ini itu yang urgent.

Iya sih, di bulan pertama gue digeber dengan ke lapangan untuk total operasi pasar yang segera dieksekusi dalam 2 minggu, disusul dengan 1 minggu persiapan berkas laporan, lalu santai lagi. Selanjutnya lagi disuruh untuk survey lapangan untuk persiapan produk terbaru bidang komersial yang pada akhirnya gue anggap sebagai proyek ga niat karena disuruh prepare tapi ga dikasih budget untuk apapun. I mean, c'mon, yang namanya kegiatan berbau komersial sudah pasti will need adequate cost untuk selanjutnya diolah untuk menghasilkan omset dan margin. Warung kecil aja perlu modal buat beli barang untuk dijual. Apalagi gue yang disuruh untuk merangkul masyarakat kecil tingkat RT-RW untuk menjalin kerjasama, lalu kita supply beberapa kebutuhan pangan pokok untuk selanjutnya mereka pasarkan dengan final goal-nya kita untuk kemudahan akses kebutuhan pangan dengan harga murah tercapai. Butuh modal gede; dalam bentuk rupiah, bukan omongan.

Masalah lain adalah, gimana mau menawarkan kerjasama, jika barang yang ditawarkan itu bahkan ga lengkap. Kasarnya nih, gue ajakin kerjasama jualan, tapi gue cuma punya satu jenis barang dagangan, elo harus mau jual dagangan gue dengan HET yang udah gue tentuin. Barang dagangan lainnya elo sediain sendiri. Itu satu. Yang kedua, gue mau ajak lu kerjasama buat tender pembelian beberapa macam barangnih, elu sebagai supplier gue, tapi gue bayarnya belakangan pas barangnya itu udah laku gue jual. Bahasa bisnisnya sih, konsinyasi. Gimana menurut ngana?

Dengan banyaknya konstrain disana-sini, segala preparation yang ga didukung sama kantor Palembang, tanpa SOP dan WI yang jelas, instruksi ga resmi lebih banyak daripada yang resmi, lalu komunikasi yang cuma dua arah, lama-lama cape juga, ya kan? Semangat gue yang awalnya udah kayak 200%, sekarang udah mulai tinggal remah-remah doang. Setiap ketemu kendala, gue konsul ke kantor Palembang, dan hanya satu dari sepuluh pertanyaan gue yang ada jawabannya. Selebihnya, mengecewakan. And they, oh well, they didn't even care with my progress. They didn't even bother to ask whether I happen to find a problem that need further assistance. They just left their soldier alone at war.

So?
Dengan semua permasalahan dari minor hingga major, membuat gue menjadi effortless, hampir menjadi malas dan persetan dengan target dan progress karena sama sekali ga ada perhatian dari bagian terkait di kantor pusat Palembang sana. Keengganan membuat gue menolak untuk berupaya lebih. Temen-temen pernah bilang kalo gue workaholic yang doyan lembur di akhir minggu demi kerjaan selesai. Sekarang? Look at me, pals. Sedikit stress dibumbui rasa hopeless membuat gue akhirnya menjadi seorang yang ga peduli. Dan semua jadi biasa karena ternyata gue juga bisa ngelakuin hal yang dulu sangat gue benci dari beberapa orang yang gue tuduh suka gabut tanpa alasan.

And believe me, you're about to lose your another potential soldier very soon.

05 August, 2016

Roti Cokelat di DPRD

Hari ke lima di bulan Agustus.
Hari ke lima di atmosfer kerja baru.
Hari ke lima di pekerjaan baru.

Akumulasi dari idle-nya gw beberapa hari ini menghasilkan satu tugas baru; kemarin disuruh atasan untuk menggantikan beliau untuk hadir di rapat Paripurna DPR Daerah. HAHAHAHAHA! Ya sih, kepikirannya kayak apa banget kan ya. Dateng untuk hadir di rapat DPRD. Ruang dan suasana megah dengan acara yang khidmat dan bertemu berbagai macam jenis dan rupa politikus. Kenyataannya?

Gw dateng on time bro! Habisnya di kantor lagi ga ada kerjaan, sih ya. So bergegas lah ke DPRD belagak jadi seseorang yang tepat waktu pula kita. Dan layaknya kebiasaan orang Indonesia yang susah hilang, sih, rapat baru dimulai jam 09:50 WIB. Molor lima puluh menit. Lalu kerjaan gw? Cuma duduk diem sambil ngemut-ngemut roti cokelat sambil denger pembukaan oleh Bupati yang suaranya kayak Optimus Prime di kuping gw. Sound system-nya ga cihuy. So kaga tau dah si Pak Bup ngomong apa.

Dan dari hampir enam puluh menit pembukaan oleh si Bupati dimana kosakata yang gw paham cuma kata APBD, sesaat kemudian rapat usai. Atau dipending, karena ishoma. Teuing sumpah. Udah lah molor sejam, pembukaannya sejam, lalu bubar jalan. Anying pisan.. Ga lagi gw hadir untuk rapat siang. Mending balik ke kosan untuk nonton Upin Ipin. Dan berharap buat ga usah balik ke kantor sampe besok paginya.

Kelamaan gabut ga enak juga, ya kan?

02 August, 2016

218,1 km

By the time I'm writing this, it's not only second day of August, but also been the second day at my new office. Different city. Different people. Different job. Different salary.

Why/how?

Gw juga kaga tau, tiba-tiba pertengahan bulan lalu saat lagi gegoleran di musholla, bertubi-tubi datangnya notifikasi chat Whatsapp dan Telegram. Temen-temen bilang, gw dapat promosi. Bergegas gw melihat inbox email kantor. And yeah, they're not bluffing.

Yang mereka ga bilang adalah, promosinya gw ke kantor di daerah yang berjarak 218,1 km dari Palembang. Five hours traveling by road. Buat sesaat (satuan hari) gw nge-blank. Stress. Dan bingung mau apa/gimana. Sembari masih mengerjakan pekerjaan yang lama (karena promosi tersebut efektif dari satu Agustus/kemarin), pikiran gw bercabang dan gampang terdistraksi. Selera makan gw drop, sampe datang bulan gw aja telat dua minggu. The will to take the job wasn't 100%. Setengah bagian otak gw menolak promosi tersebut, setengahnya malah berpikir sebaliknya. Beban yang memberatkan adalah fakta bahwa gw pindah kantor, yang jaraknya makin jauh dari Palembang, makin jauh dari bandara, makin jauh dari rumah. Dan dari sekian employee yang memenuhi kualifikasi, kenapa musti gw yang ditarok disana? The hell, man?

And keeps me wonder, sampai gw menulis postingan ini, dan akan selalu menjadi statement retoris bagi diri gw sendiri; betapa nasip pekerjaan kita sangat bergantung dari sekelompok orang-orang yang diberi label "atasan/bos" dan betapa kampretnya kadang lobi-melobi menentukan masa depan. Gw merasa jijik.

Yet here I am. 218.1 km away from Palembang. Bahkan gak terhitung lagi jaraknya dari rumah.


Pffttt...