Seharian di beberapa hari yang lalu lumayan puas lah, berbagi penggalan-penggalan kisah usang yang diurai kembali dalam helaan nafas para wanita manula yang gw temuin secara random di beberapa sudut keramaian kota. Sama sekali ga ada niat buat ngelakuin hal kayak gitu. Semua terjadi begitu saja. Seharian ini ada tiga wanita manula yang tetap semangat dan optimis menjalani hidup, dan dengan sumringah membagi penggalan cerita hidupnya ke gw.
Note : Nama disamarkan, karena sama sekali ga ingat buat mencari tahu nama mereka.
1. Nenek A
Usia 82 tahun. Ketemunya di angkot. Kalo gw sih bilangnya "nekat", usia segitu masi berani naek turun angkot sendiri. Kalo kenapa2 di jalan gimana? Mana si nenek ga punya enpon lagi. Sukur kalo KTP ada dibawa, kalo engga?
Entah siapa yang memulai, pembicaraan mengalir begitu saja. Dengan santainya beliau menceritakan kehidupan mandiri yang sudah ditekuni sejak lama. Tanpa ada siapapun di sisinya. Anak cucu? Semua anaknya merantau dan "bisa" pulang ketika lebaran aja. Dan nenek ini, dengan segala kelapangan hatinya, menjalani hidup sendiri tanpa mengharapkan simpati dari siapapun termasuk anak-anaknya.
Ketika kami berbincang, diketahuilah kalo si nenek baru aja mengalami kecelakaan yang membuat salah satu tulang jari tangannya bermasalah. Ketika diurut oleh tukang urut yang cukup dipercaya, ternyata cidera tulang itu kian parah dan malah membuat tangannya ga bisa digerakkan. Kala itu si nenek mengaku hendak memeriksakan kondisi tulang jarinya ke dokter, dan dia pergi sendiri. Baginya tak apa, sudah biasa kemana-mana sendiri. Dan lagi-lagi gw dibuat terpana dengan daya ingat dan daya penglihatannya yang masih bagus.
Tapi gw, dengan keadaan seperti itu, pasti akan meminta dengan penekanan agar satu dari anak gw stay bersama gw, menemani gw kemana-mana. I mean, she's no longer young, dude, 82 tahun. Saatnya beliau menikmati masa tua dengan santai, tanpa perlu lagi direpotkan oleh remeh temeh ini itu. Dan gw meringis mendengar cerita si nenek. Entah semangatnya yang "terlalu" tinggi untuk usai 82 tahun, entah ego anak2nya memang tidak bisa dipatahkan dengan alasan apapun.
2. Ibu B
Profesi sebagai tukang urut, dan sepertinya sudah profesional. Gw ga tau umur persisnya, tapi gw taksir seumuran nyokap gw, dan sepertinya sudah pantas dipanggil nenek karena sepertinya beliau sudah punya cucu :D
Ketika gw dateng ke rumah beliau untuk jadi pasien, waktu itu udah mau sore dan beliau sedang melayani pasien ke sekian. Kata nyokap, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk satu orang pasien adalah 1 jam. So jika si nenek buka praktek dari jam 9, maka ketika gw datang, dihitung dengan memasukkan waktu yg dipake buat istirahat, maka Abeliau sedang melayani pasien ke 4. Dan dihitung dengan jumlah antrian, berarti gw akan jadi pasien ke-6. Ohemji.
Yang gw bayangin pertama kali adalah; seberapa sih sisa tenaga si Ibu buat mijit gw secara gw adalah pasien ke-6 hari itu. Lalu, jika dia melakukan ini setiap hari, gw ga bisa membayangkan seberapa besar stamina yang harus dia siapkan untuk segala kemungkinan jumlah pasien yang akan datang untuk diurut. Apalagi jika pasiennya cowok, berarti kudu pake stamina ekstra dong, wohhh.. Gw ga berani nanya langsung, namun pembuktian ketika gw "dilayani" sudah cukup menjelaskan semuanya, nyahahaha. Sadis dah pijatan si ibu. Ga tau dah apa pijatannya yang ekstrem ato emang beberapa sendi badan gw udah pada bergeser dari tempatnya kali, dicubit dikit aja sakitnya minta ampunn T.T
Dan gw salut dengan semangatnya dalam mencari nafkah untuk menghidupi dirinya pribadi dan keluarganya (yang gw ga tau lagi dimana, tapi gw yakin mereka terpisah jarak karena aura penghuni rumah itu cuman aura satu orang saja). Optimisme yang tinggi terbingkai dalam setiap pengabdiannya sebagai tukang pijat di usia yang sudah tidak muda dan tentunya dengan stamina yang sudah tidak semaksimal di kala muda. But she still goes on. Way to go, nanny!
3. Nenek C
Si nenek ini pasien yang ngantri setelah gw. Sepertinya pelanggan tetap, karena Ibu B sudah berbicara akrab dengan si nenek. Begitu gw kelar diurut dan tersenyum padanya, cerita pun mengalir. Tak jelas dari A ke Z, tapi ada beberapa point yang bisa gw simpulkan dari cerita si nenek.
She's 84 years old, namun penampilannya sama sekali jauh dari angka 84 tahun. Nyokap gw bahkan kaget mendengar si nenek mengaku demikian. 84 tahun, dan sudah berulang kali ditimpa musibah berupa sakit, dan "sakit". Kepada gw, beliau perlihatkan kakinya yang bengkak sudah sekian lama, menceritakan pengalamannya yang berulang kali diguna-guna hingga kadang tak mampu lagi berjalan, berkali-kali kena tipu hingga menderita kerugian materi yang cukup besar. Mungkin kita bisa menyebutnya, sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram air panas lalu dompetnya terlempar entah kemana.
But she still remained strong, never gives up and optimist. Bagaimanapun keadaan si nenek sekarang, tak lupa akan kehadiran sang Pencipta. Tak peduli seperih apapun guna-guna yang dikirim kepadanya hingga beliau tak bisa melakukan aktivitas shalat dengan benar, beliau tetap menunaikan yang wajib dengan semua kemungkinan-kemungkinan yang ada. Harta jikalau hilang bisa dicari lagi, sudah ada suratan yang mengatur. Amalan adalah jerih payah pribadi kita, jika terlewatkan momen untuk mengumpulkannya, maka benar-benar sirna sudah dan tak akan ada kesempatan kedua. Begitulah pesan si nenek ke gw.
Tiga wanita, tiga masalah, tiga keadaan, namun satu tujuan hidup dengan semangat dan optimisme yang sama.
Tujuan gw share cerita ini tidak lebih untuk mensugesti diri gw sendiri yang keseringan lemes banget dalam menjalani hidup. Padahal jarak tempuh hidup gw bahkan belom sampe setengah dari ketiga wanita ini, namun gw udah mengeluh banyak. Gw harus bangun semangat dan rasa optimis seperti mereka. They're my guidelines. Dan jika kalian yang baca story ini ikut merasa tersemangati, I'll be happy for that. Bless them, and may God blesses us, too.
Keep the Spirit! :D
Note : Nama disamarkan, karena sama sekali ga ingat buat mencari tahu nama mereka.
1. Nenek A
Usia 82 tahun. Ketemunya di angkot. Kalo gw sih bilangnya "nekat", usia segitu masi berani naek turun angkot sendiri. Kalo kenapa2 di jalan gimana? Mana si nenek ga punya enpon lagi. Sukur kalo KTP ada dibawa, kalo engga?
Entah siapa yang memulai, pembicaraan mengalir begitu saja. Dengan santainya beliau menceritakan kehidupan mandiri yang sudah ditekuni sejak lama. Tanpa ada siapapun di sisinya. Anak cucu? Semua anaknya merantau dan "bisa" pulang ketika lebaran aja. Dan nenek ini, dengan segala kelapangan hatinya, menjalani hidup sendiri tanpa mengharapkan simpati dari siapapun termasuk anak-anaknya.
Ketika kami berbincang, diketahuilah kalo si nenek baru aja mengalami kecelakaan yang membuat salah satu tulang jari tangannya bermasalah. Ketika diurut oleh tukang urut yang cukup dipercaya, ternyata cidera tulang itu kian parah dan malah membuat tangannya ga bisa digerakkan. Kala itu si nenek mengaku hendak memeriksakan kondisi tulang jarinya ke dokter, dan dia pergi sendiri. Baginya tak apa, sudah biasa kemana-mana sendiri. Dan lagi-lagi gw dibuat terpana dengan daya ingat dan daya penglihatannya yang masih bagus.
Tapi gw, dengan keadaan seperti itu, pasti akan meminta dengan penekanan agar satu dari anak gw stay bersama gw, menemani gw kemana-mana. I mean, she's no longer young, dude, 82 tahun. Saatnya beliau menikmati masa tua dengan santai, tanpa perlu lagi direpotkan oleh remeh temeh ini itu. Dan gw meringis mendengar cerita si nenek. Entah semangatnya yang "terlalu" tinggi untuk usai 82 tahun, entah ego anak2nya memang tidak bisa dipatahkan dengan alasan apapun.
2. Ibu B
Profesi sebagai tukang urut, dan sepertinya sudah profesional. Gw ga tau umur persisnya, tapi gw taksir seumuran nyokap gw, dan sepertinya sudah pantas dipanggil nenek karena sepertinya beliau sudah punya cucu :D
Ketika gw dateng ke rumah beliau untuk jadi pasien, waktu itu udah mau sore dan beliau sedang melayani pasien ke sekian. Kata nyokap, rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk satu orang pasien adalah 1 jam. So jika si nenek buka praktek dari jam 9, maka ketika gw datang, dihitung dengan memasukkan waktu yg dipake buat istirahat, maka Abeliau sedang melayani pasien ke 4. Dan dihitung dengan jumlah antrian, berarti gw akan jadi pasien ke-6. Ohemji.
Yang gw bayangin pertama kali adalah; seberapa sih sisa tenaga si Ibu buat mijit gw secara gw adalah pasien ke-6 hari itu. Lalu, jika dia melakukan ini setiap hari, gw ga bisa membayangkan seberapa besar stamina yang harus dia siapkan untuk segala kemungkinan jumlah pasien yang akan datang untuk diurut. Apalagi jika pasiennya cowok, berarti kudu pake stamina ekstra dong, wohhh.. Gw ga berani nanya langsung, namun pembuktian ketika gw "dilayani" sudah cukup menjelaskan semuanya, nyahahaha. Sadis dah pijatan si ibu. Ga tau dah apa pijatannya yang ekstrem ato emang beberapa sendi badan gw udah pada bergeser dari tempatnya kali, dicubit dikit aja sakitnya minta ampunn T.T
Dan gw salut dengan semangatnya dalam mencari nafkah untuk menghidupi dirinya pribadi dan keluarganya (yang gw ga tau lagi dimana, tapi gw yakin mereka terpisah jarak karena aura penghuni rumah itu cuman aura satu orang saja). Optimisme yang tinggi terbingkai dalam setiap pengabdiannya sebagai tukang pijat di usia yang sudah tidak muda dan tentunya dengan stamina yang sudah tidak semaksimal di kala muda. But she still goes on. Way to go, nanny!
3. Nenek C
Si nenek ini pasien yang ngantri setelah gw. Sepertinya pelanggan tetap, karena Ibu B sudah berbicara akrab dengan si nenek. Begitu gw kelar diurut dan tersenyum padanya, cerita pun mengalir. Tak jelas dari A ke Z, tapi ada beberapa point yang bisa gw simpulkan dari cerita si nenek.
She's 84 years old, namun penampilannya sama sekali jauh dari angka 84 tahun. Nyokap gw bahkan kaget mendengar si nenek mengaku demikian. 84 tahun, dan sudah berulang kali ditimpa musibah berupa sakit, dan "sakit". Kepada gw, beliau perlihatkan kakinya yang bengkak sudah sekian lama, menceritakan pengalamannya yang berulang kali diguna-guna hingga kadang tak mampu lagi berjalan, berkali-kali kena tipu hingga menderita kerugian materi yang cukup besar. Mungkin kita bisa menyebutnya, sudah jatuh, tertimpa tangga, tersiram air panas lalu dompetnya terlempar entah kemana.
But she still remained strong, never gives up and optimist. Bagaimanapun keadaan si nenek sekarang, tak lupa akan kehadiran sang Pencipta. Tak peduli seperih apapun guna-guna yang dikirim kepadanya hingga beliau tak bisa melakukan aktivitas shalat dengan benar, beliau tetap menunaikan yang wajib dengan semua kemungkinan-kemungkinan yang ada. Harta jikalau hilang bisa dicari lagi, sudah ada suratan yang mengatur. Amalan adalah jerih payah pribadi kita, jika terlewatkan momen untuk mengumpulkannya, maka benar-benar sirna sudah dan tak akan ada kesempatan kedua. Begitulah pesan si nenek ke gw.
.....
Tiga wanita, tiga masalah, tiga keadaan, namun satu tujuan hidup dengan semangat dan optimisme yang sama.
Tujuan gw share cerita ini tidak lebih untuk mensugesti diri gw sendiri yang keseringan lemes banget dalam menjalani hidup. Padahal jarak tempuh hidup gw bahkan belom sampe setengah dari ketiga wanita ini, namun gw udah mengeluh banyak. Gw harus bangun semangat dan rasa optimis seperti mereka. They're my guidelines. Dan jika kalian yang baca story ini ikut merasa tersemangati, I'll be happy for that. Bless them, and may God blesses us, too.
Keep the Spirit! :D
Inspirasi bisa datang kapan saja,
tak peduli kala tenaga matamu bersisa 3,5 watt sekalipun,,
tak peduli kala tenaga matamu bersisa 3,5 watt sekalipun,,
1 comments:
Oh my,, nenek nenek perkasa!!!
Kita seperempat abad aja belum tapi udah leyeh-leyehan dan banyak keluhan banget menjalani hidup pdahal bisa dibilang gidup udah lumayan enak. Astaghfirullah.. Maka nikmat manakah yang kamu dustakan.. *istighfar berkali-kali*
Post a Comment