18 Februari 2009
17.20 WIB
Baru saja menyelesaikan pekerjaan part time di warnet dekat kosan, menghitung pemasukan dari pagi hingga sore dan akhirnya aku duduk termenung menunggu si bos datang buat menggantikan aku shift malam. Tiba2 jari ini tergerak untuk mendial nomer Mama, menanyakan keadaanmu. Sebaris kalimat saja dari Mama, cukup untuk membuatku segera berkemas dan pulang ke Bukittinggi saat itu juga.
20.45 WIB
Sampai di Bukittinggi, disambut dengan dingin yang menyengat hingga ke tulang, dan hati. Aku segera bergegas mencari angkot yang bisa mengantarkanku menuju Rumah Sakit tempatmu dirawat. Agak bingung mencari ruanganmu pada awalnya, hingga menahan nafas ketika akhirnya bertatap muka denganmu. Ga bisa bilang apa-apa, karena mulutku kaku. Mataku silih berganti menatapmu, lalu menatap alat dengan layar bergambar grafik yang turun naik, lalu kembali menatapmu. Ingin berucap sesuatu tapi tidak ada yang keluar dari mulut ini. Failed!
21.05 WIB
Aku terduduk di ruang khusus keluarga/penunggu pasien bersama mama, om, tante dan abangku yang baru saja tiba dari Jakarta. Meski mereka saling bercerita dan memaksakan diri untuk tidak bersedih, tapi aku yakin dalam hati mereka berdoa untukmu. Sudah lebih dari tiga minggu engkau dirawat, dan mereka selalu berdoa yang terbaik untuk kondisimu. Mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Aku juga, selalu berdoa untukmu, selalu.
Kemudian mama menyuruhku pulang, "kayaknya pintu jendela kamar belom Mama tutup, deh. Kamu tidur di rumah aja ya, pulang sama om, sekalian cek keadaan rumah." Sejenak dalam kantuk dan didukung dengan dinginnya cuaca memang sangat ingin membuatku tidur dan berselimut tebal di atas kasur di dalam kamar yang hangat. Betapa kantuk dapat mengacaukan sistem indera. Dan tak berapa lama, akupun tiba di rumah, sendiri, karena sodara2ku yang lain memutuskan untuk menginap di Rumah Sakit. Selesai mengecek keadaan rumah kiri-kanan atas-bawah, akupun terlena dibuai mimpi hanya tak lama setelah menyentuh bantal.
19 Februari 2009
03.20 WIB
Tersentak. Seketika kembali ke dunia nyata dan mencari sumber suara yang membangunkanku. Ada panggilan menuju hpku, dan tak sempat ku angkat. Tak lama kemudian, telepon rumah berdering keras. Pikiranku tak karuan dan aku bisa merasakan detak jantungku sendiri. Abangku yang bicara di ujung sana. Dan lagi, cukup satu kalimat saja darinya cukup membuat jantung yang berdetak kencang ini seperti berhenti, badanku mati rasa dan pandanganku mengabur ketika mendengar kata-kata itu. "Papa udah ga ada lagi, Put, beberapa menit yang lalu. Gw bentar lagi pulang buat beres2 di rumah. Sebelum Subuh jenazah Papa akan dianterin pulang.
DEG!!
19 Februari 2011
Pagi ini sama seperti biasanya, Pa. Sepi. Mama masih di mesjid sejak Subuh tadi. Dan ya, aku masih punya masalah dengan bangun sangat pagi di kala Subuh menjelang. Keramaian hanya mewarnai rumah ini jika anak2mu, kakak2ku pulang dengan keluarga mereka masing-masing, dan itupun sudah dapat dipastikan jadwalnya ketika Ied Fitri datang.
Aku, tengah duduk di sofa ruang tengah sembari mengetik ini, dan menatap ke arah ruang beranda tempat jenazahmu dua tahun lalu dibaringkan. Pagi ini dua tahun yang lalu aku duduk di dekatmu, tak bisa berpikir apa dan hanya bisa melantunkan ayat YaSin dengan suara lirih hingga jasadmu dimandikan.
Ba'da Zuhur, dua tahun yang lalu.
Jemaah mesjid, Mama, para sodara dan keluarga, beserta aku telah selesai menyalatkanmu. Saatnya menuju tempat peristirahatan terakhir, Pa. Perih. Hanya itu yang bisa aku rasa di dalam sini. Saat engkau dibaringkan di liang lahat, ditutup dengan tanah, ditaburi bunga, dan didoakan, aku hanya bisa berdiri dalam diam. Tujuh langkah sepeninggal kami, Malaikat Munkar - Nankir pasti sudah datang menanyaimu, Pa. Semoga engkau bisa menjawab semua pertanyaan mereka. Terkadang saat itu ingin sekali diri ini memiliki kemampuan mendengar suara-suara gaib, ingin mendengar apa saja yang mereka tanyakan padamu, ingin mendengar jawaban-jawabanmu. Hufh, hanya satu dari sekian keinginan-keinginan konyol yang muncul ketika hatiku sedang kacau.
Dan di hari ini dua tahun yang lalu, rumah ini sangat ramai, Pa. Banyak yang datang, menyalami mama lalu aku, lalu sembari tersenyum tipis mengelus2 pundakku dengan harapan bisa membuatku lebih kuat, lalu duduk bergabung dengan pengunjung yang lain. Yah, rumah ini memang ramai, Pa. Tapi ramai karena berduka atas kepergianmu. Ramai karena membicarakanmu, di akhir waktu terakhirmu bersama kami. Ramai karena mendoakanmu agar tenang di sana.
Kala itu aku heran pada diriku sendiri, Pa, mungkin para pelayat juga merasa hal yang sama. Semenjak mendengar kepergianmu, aku sama sekali belum menangis. Tidak ada air mata yang menetes. Terpikir kala beberapa teman-temanku yang menangis hingga menjerit histeris ketika orang yang mereka cintai pergi untuk selamanya, bagaimana mungkin hal yg berkebalikan terjadi padaku, Pa?
I didn't know, Pa. All I knew, was, at the first time we got you into hospital, somehow I just already got a feeling that cam at instant, said that this story would give a sad ending. That feeling told me to learn to let you go, slowly. Kali pertama aku melihatmu terbaring koma di rumah sakit, aku sudah mengikhlaskan apapun yang akan Allah lakukan padamu, Pa.
You've suffered pretty much. Di kala menatapmu dalam usahamu melawan penyakit itu lah, air mataku tumpah tak terkendali. Betapa aku sangat ingin menggantikan posisimu, sangat ingin engkau sembuh dan kembali ke keadaan sedia kala, sangat ingin menjumpaimu lagi di depan pintu kamarku setiap Subuh datang, sangat ingin bertengkar denganmu sembari rebutan remote televisi, betapa aku sangat ingin momen-momen itu terus berulang, di setiap helai nafasku, di setiap langkah kakiku dan setiap detik aku mengingatmu, aku ingin engkau ada di depanku, Pa.
Hari ini tepat dua tahun kepergianmu meninggalkan kami, orang-orang yang menyayangi dan mengagumimu, Pa. You know, tak ada perubahan yang berarti di rumah ini. Kecuali, Mama yang akhirnya tidur sendiri. Semua barang-barang kepunyaanmu, masih utuh sebagaimana adanya di tempatnya ketika engkau masih ada. I don't know what's on mom's mind, but surely it's one of many good ways to remind you.
I Love You and I Miss You, Pa.
To the deepest spot in my heart, I do.
Until today and tomorrow after, I still do.
17.20 WIB
Baru saja menyelesaikan pekerjaan part time di warnet dekat kosan, menghitung pemasukan dari pagi hingga sore dan akhirnya aku duduk termenung menunggu si bos datang buat menggantikan aku shift malam. Tiba2 jari ini tergerak untuk mendial nomer Mama, menanyakan keadaanmu. Sebaris kalimat saja dari Mama, cukup untuk membuatku segera berkemas dan pulang ke Bukittinggi saat itu juga.
20.45 WIB
Sampai di Bukittinggi, disambut dengan dingin yang menyengat hingga ke tulang, dan hati. Aku segera bergegas mencari angkot yang bisa mengantarkanku menuju Rumah Sakit tempatmu dirawat. Agak bingung mencari ruanganmu pada awalnya, hingga menahan nafas ketika akhirnya bertatap muka denganmu. Ga bisa bilang apa-apa, karena mulutku kaku. Mataku silih berganti menatapmu, lalu menatap alat dengan layar bergambar grafik yang turun naik, lalu kembali menatapmu. Ingin berucap sesuatu tapi tidak ada yang keluar dari mulut ini. Failed!
21.05 WIB
Aku terduduk di ruang khusus keluarga/penunggu pasien bersama mama, om, tante dan abangku yang baru saja tiba dari Jakarta. Meski mereka saling bercerita dan memaksakan diri untuk tidak bersedih, tapi aku yakin dalam hati mereka berdoa untukmu. Sudah lebih dari tiga minggu engkau dirawat, dan mereka selalu berdoa yang terbaik untuk kondisimu. Mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Aku juga, selalu berdoa untukmu, selalu.
Kemudian mama menyuruhku pulang, "kayaknya pintu jendela kamar belom Mama tutup, deh. Kamu tidur di rumah aja ya, pulang sama om, sekalian cek keadaan rumah." Sejenak dalam kantuk dan didukung dengan dinginnya cuaca memang sangat ingin membuatku tidur dan berselimut tebal di atas kasur di dalam kamar yang hangat. Betapa kantuk dapat mengacaukan sistem indera. Dan tak berapa lama, akupun tiba di rumah, sendiri, karena sodara2ku yang lain memutuskan untuk menginap di Rumah Sakit. Selesai mengecek keadaan rumah kiri-kanan atas-bawah, akupun terlena dibuai mimpi hanya tak lama setelah menyentuh bantal.
19 Februari 2009
03.20 WIB
Tersentak. Seketika kembali ke dunia nyata dan mencari sumber suara yang membangunkanku. Ada panggilan menuju hpku, dan tak sempat ku angkat. Tak lama kemudian, telepon rumah berdering keras. Pikiranku tak karuan dan aku bisa merasakan detak jantungku sendiri. Abangku yang bicara di ujung sana. Dan lagi, cukup satu kalimat saja darinya cukup membuat jantung yang berdetak kencang ini seperti berhenti, badanku mati rasa dan pandanganku mengabur ketika mendengar kata-kata itu. "Papa udah ga ada lagi, Put, beberapa menit yang lalu. Gw bentar lagi pulang buat beres2 di rumah. Sebelum Subuh jenazah Papa akan dianterin pulang.
DEG!!
19 Februari 2011
Pagi ini sama seperti biasanya, Pa. Sepi. Mama masih di mesjid sejak Subuh tadi. Dan ya, aku masih punya masalah dengan bangun sangat pagi di kala Subuh menjelang. Keramaian hanya mewarnai rumah ini jika anak2mu, kakak2ku pulang dengan keluarga mereka masing-masing, dan itupun sudah dapat dipastikan jadwalnya ketika Ied Fitri datang.
Aku, tengah duduk di sofa ruang tengah sembari mengetik ini, dan menatap ke arah ruang beranda tempat jenazahmu dua tahun lalu dibaringkan. Pagi ini dua tahun yang lalu aku duduk di dekatmu, tak bisa berpikir apa dan hanya bisa melantunkan ayat YaSin dengan suara lirih hingga jasadmu dimandikan.
Ba'da Zuhur, dua tahun yang lalu.
Jemaah mesjid, Mama, para sodara dan keluarga, beserta aku telah selesai menyalatkanmu. Saatnya menuju tempat peristirahatan terakhir, Pa. Perih. Hanya itu yang bisa aku rasa di dalam sini. Saat engkau dibaringkan di liang lahat, ditutup dengan tanah, ditaburi bunga, dan didoakan, aku hanya bisa berdiri dalam diam. Tujuh langkah sepeninggal kami, Malaikat Munkar - Nankir pasti sudah datang menanyaimu, Pa. Semoga engkau bisa menjawab semua pertanyaan mereka. Terkadang saat itu ingin sekali diri ini memiliki kemampuan mendengar suara-suara gaib, ingin mendengar apa saja yang mereka tanyakan padamu, ingin mendengar jawaban-jawabanmu. Hufh, hanya satu dari sekian keinginan-keinginan konyol yang muncul ketika hatiku sedang kacau.
Dan di hari ini dua tahun yang lalu, rumah ini sangat ramai, Pa. Banyak yang datang, menyalami mama lalu aku, lalu sembari tersenyum tipis mengelus2 pundakku dengan harapan bisa membuatku lebih kuat, lalu duduk bergabung dengan pengunjung yang lain. Yah, rumah ini memang ramai, Pa. Tapi ramai karena berduka atas kepergianmu. Ramai karena membicarakanmu, di akhir waktu terakhirmu bersama kami. Ramai karena mendoakanmu agar tenang di sana.
Kala itu aku heran pada diriku sendiri, Pa, mungkin para pelayat juga merasa hal yang sama. Semenjak mendengar kepergianmu, aku sama sekali belum menangis. Tidak ada air mata yang menetes. Terpikir kala beberapa teman-temanku yang menangis hingga menjerit histeris ketika orang yang mereka cintai pergi untuk selamanya, bagaimana mungkin hal yg berkebalikan terjadi padaku, Pa?
I didn't know, Pa. All I knew, was, at the first time we got you into hospital, somehow I just already got a feeling that cam at instant, said that this story would give a sad ending. That feeling told me to learn to let you go, slowly. Kali pertama aku melihatmu terbaring koma di rumah sakit, aku sudah mengikhlaskan apapun yang akan Allah lakukan padamu, Pa.
You've suffered pretty much. Di kala menatapmu dalam usahamu melawan penyakit itu lah, air mataku tumpah tak terkendali. Betapa aku sangat ingin menggantikan posisimu, sangat ingin engkau sembuh dan kembali ke keadaan sedia kala, sangat ingin menjumpaimu lagi di depan pintu kamarku setiap Subuh datang, sangat ingin bertengkar denganmu sembari rebutan remote televisi, betapa aku sangat ingin momen-momen itu terus berulang, di setiap helai nafasku, di setiap langkah kakiku dan setiap detik aku mengingatmu, aku ingin engkau ada di depanku, Pa.
Hari ini tepat dua tahun kepergianmu meninggalkan kami, orang-orang yang menyayangi dan mengagumimu, Pa. You know, tak ada perubahan yang berarti di rumah ini. Kecuali, Mama yang akhirnya tidur sendiri. Semua barang-barang kepunyaanmu, masih utuh sebagaimana adanya di tempatnya ketika engkau masih ada. I don't know what's on mom's mind, but surely it's one of many good ways to remind you.
I Love You and I Miss You, Pa.
To the deepest spot in my heart, I do.
Until today and tomorrow after, I still do.