Awalnya gue agak ragu-ragu untuk memutuskan nonton film ini. Pertama ya, karena ini film horror. I'm not quite fancy it. Yang kedua karena gue belom nonton filmnya yang pertama, which most of my friends were so fuss when they discussed about it. Jadilah, berangkat dari film chapter pertama yang katanya happening dimana-mana, gue memutuskan untuk langsung aja cut untuk nonton Insidious Chapter Two.
And yes, I was not alone.
Last Thursday, me and my workmates fixed our minds to watch this movie at the cinema near by our office in town. Kirain bakal banyak antrian, studio bakal penuh mengingat record history filmnya, but I was wrong. Antrian lantjar tjar tjar, seat pada jam itu cuma keisi 75% saja. Not bad for the 3rd day.
Lalu dimulailah masa menikmati detik demi detik semua adegan diwarnai teriakan tertahan atau jejeritan dari seat tetangga. Gue?
Di belasan sekian menit pertama emang rada horror bagi gue. Benda-benda yang bergerak sendiri, makhluk mistis yang muncul tiba-tiba lalu menghilang, setting scene yang selalu diset gelap minim pencahayaan, dan scene-scene khas film horror lainnya. Sedari awal gue emang ga tau cerita Insidious Chapter 2 maupun Chapter 1 ini tentang apa, gue sama sekali ga ingat untuk liat-liat trailer, jadi minim referensi. Apalagi intro film yg vintage sekali (gambar di atas muncul di intro dan ending film, perhatikan desain fontnya serta warna merah yang khas. Remember any similar horror movies? Ha-) diikuti dengan musik klasik yang membuat telinga berdenging. Jadi ekspektasi gue cerita ini bakal untuk bagus masih tinggi.
But then, no more surprise after 45 - 50 minutes the movie's rolling.
I was almost bored. I mean, gue udah bisa memahami arah ceritanya kemana. Taste horrornya udah agak luntur karena gampang diterka, menurut gue sih gitu. *my own opinion, okay? I was expecting higher and look what've I got* Cuma scoring music yang menyayat pilu di setiap scene horor yang masih bisa membuat merinding disko. Plus beberapa scene horror (kayak kamera yang dengan cepat dan presisi zoom in ke arah Ibunya Peter Crane kecil sempet bikin gw terkaget karena ga sengaja ngelihat langsung ke matanya).
Katanya The Conjuring juga disutradarai oleh orang yang sama dengan Insidious ini, ya? Abang James Wan kan ya? Well mungkin taste The Conjuring agak berbeda karena "based on true story" cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap yang akan dan sedang menonton film tersebut. Dan gue juga beropini demikian.
My general review;
Gue tetep suka film ini, filmnya "clean" ga ada darah atau potongan tubuh manusia berceceran *bukan berarti gue anti yang begituan juga*, plotnya cepet, tau-tau udah mau dibunuh aja, tau-tau udah pindah alam aja, tau-tau udah mau abis aja filmnya. Lalu, kayaknya memang harus menonton prekuelnya agar bisa lebih memahami Chapter Two ini *salah gue sendiri, sih*
Still worth to watch.
Tapi kalo nonton bawa temen, ya. Jangan sendiri.
At least ada yang bisa diledekin buat alibi kalian menghindari dari melihat scene horornya.
*pengalaman, lol*
And yes, I was not alone.
Last Thursday, me and my workmates fixed our minds to watch this movie at the cinema near by our office in town. Kirain bakal banyak antrian, studio bakal penuh mengingat record history filmnya, but I was wrong. Antrian lantjar tjar tjar, seat pada jam itu cuma keisi 75% saja. Not bad for the 3rd day.
Lalu dimulailah masa menikmati detik demi detik semua adegan diwarnai teriakan tertahan atau jejeritan dari seat tetangga. Gue?
Di belasan sekian menit pertama emang rada horror bagi gue. Benda-benda yang bergerak sendiri, makhluk mistis yang muncul tiba-tiba lalu menghilang, setting scene yang selalu diset gelap minim pencahayaan, dan scene-scene khas film horror lainnya. Sedari awal gue emang ga tau cerita Insidious Chapter 2 maupun Chapter 1 ini tentang apa, gue sama sekali ga ingat untuk liat-liat trailer, jadi minim referensi. Apalagi intro film yg vintage sekali (gambar di atas muncul di intro dan ending film, perhatikan desain fontnya serta warna merah yang khas. Remember any similar horror movies? Ha-) diikuti dengan musik klasik yang membuat telinga berdenging. Jadi ekspektasi gue cerita ini bakal untuk bagus masih tinggi.
But then, no more surprise after 45 - 50 minutes the movie's rolling.
I was almost bored. I mean, gue udah bisa memahami arah ceritanya kemana. Taste horrornya udah agak luntur karena gampang diterka, menurut gue sih gitu. *my own opinion, okay? I was expecting higher and look what've I got* Cuma scoring music yang menyayat pilu di setiap scene horor yang masih bisa membuat merinding disko. Plus beberapa scene horror (kayak kamera yang dengan cepat dan presisi zoom in ke arah Ibunya Peter Crane kecil sempet bikin gw terkaget karena ga sengaja ngelihat langsung ke matanya).
Katanya The Conjuring juga disutradarai oleh orang yang sama dengan Insidious ini, ya? Abang James Wan kan ya? Well mungkin taste The Conjuring agak berbeda karena "based on true story" cukup memberikan pengaruh yang signifikan terhadap yang akan dan sedang menonton film tersebut. Dan gue juga beropini demikian.
My general review;
Gue tetep suka film ini, filmnya "clean" ga ada darah atau potongan tubuh manusia berceceran *bukan berarti gue anti yang begituan juga*, plotnya cepet, tau-tau udah mau dibunuh aja, tau-tau udah pindah alam aja, tau-tau udah mau abis aja filmnya. Lalu, kayaknya memang harus menonton prekuelnya agar bisa lebih memahami Chapter Two ini *salah gue sendiri, sih*
Still worth to watch.
Tapi kalo nonton bawa temen, ya. Jangan sendiri.
At least ada yang bisa diledekin buat alibi kalian menghindari dari melihat scene horornya.
*pengalaman, lol*